Minggu, 06 Februari 2011

TEMU KADER

alhamdulillah kegiatan Temu Kader Sahabat/i PMII Ke-1 telah berakhir...... dimulai dengan awal yang bai hari jum,at tanggal 4 februari sahabat2 dari berbagai penjuru jawa tengah mulai berdatangan. diantara komisariat yang datang diantaranya ; kom. dukuh waluh, soedirman, wonosobo, temanggung, kebumen, tegal, pekalongan, solo, sukoharjo, cepu, cilacap, brebes, pemalang dan walisongo.......pertemuan ini menghasilokan beberapa ultimatum dibentuknya FKK (forum Komunikasi komisariat ) dan temukader selanjutnya Tuan Rumahnya adalah Solo. sampai jumpa di solo sahabat.

Sabtu, 15 Januari 2011

ASWAJA (Ahlu Sunah Wal JAma'ah)

AHLU SUNNAH WA AL- JAMAAHPERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
Sejarah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah

Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H.
Seorang Ulama’ besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Di antara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.
Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya, apakah dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadits.
Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48;
اِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُاَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذلِكَ ِلمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِافْتَرَى اِثْمًاعَظِيْمًا النساء : 48
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat syirik, tetapi Allah mengampuni dosa selian itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan Tuhan ia telah membuat dosa yang sangat besar.”
Kedua, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ اَبِى ذَرٍ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتِانِى اتٍ مِنْ رَبىِ فَأَخْبَرَنِى اَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ اُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِاللهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قُلْتُ: وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ شَرَقَ. قَالَ وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ سَرَقَ رواه البخارى ومسل
“Dari shahabat Abu Dzarrin berkata; Rasulullah SAW bersabda: Datang kepadaku pesuruh Allah menyampaikan kepadamu. Barang siapa yang mati dari umatku sedang ia tidak mempersekutukan Allah maka ia akan masuk surga, lalu saya (Abu Dzarrin) berkata; walaupun ia pernah berzina dan mencuri ? berkata (Rasul) : meskipun ia telah berzina dan mencuri.” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
فَيَقُوْلُ وَعِزَّتِى وَجَللاَ لِى وَكِبْرِيَانِى وَعَظَمَتِى لأَُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ. رواه البخارى
“Allah berfirman: Demi kegagahanku dan kebesaranku dan demi ketinggian serta keagunganku, benar akan aku keluarkan dari neraka orang yang mengucapkan; Tiada Tuhan selain Allah.”
Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang mu’min yang melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”
Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut dikucilkan oleh gurunya. Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari jama’ahnya. Karena peristiwa demikian itu Washil disebut mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid.
Selanjutnya, mereka memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan akalnya.
Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
Ahlu Sunnah wa al-Jamaah Sebagai Manhaj al-Fikr atau Mazhab?
Berfikir jernih, luwes dan kreatif tanpa tedeng aling-aling adalah sebuah cita-cita luhur intelektual muda NU yang menyerap banyak literatur baru dalam hidupnya. Sebuah usaha yang mendapat kecaman hebat dari para kyai berkaitan dengan tradisi lama yang dibangun.
Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah adalah satu dari banyak objek pemikiran yang ingin dilacak kebenarannya oleh intelektual muda tersebut. Benarkah pemahaman Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah kita saat ini? Adakah ia sebuah tradisi yang tak bisa diberantas (Aqidah) atau hanyalah sebuah pemikiran yang debatable?
Apapun ia, tentunya menjadi sebuah hal yang unik dan menarik untuk dibicarakan. Betapa tidak? Ketika para intelektual muda NU bergeliat mencari makna kebenaran Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang dikultuskan dan menjadi unthoughtable para kiai justru akhirnya merasa terancam eksistensinya. Ada apa dibalik semua ini? Said Aqil Siradj, seorang pemikir muda NU yang banyak menyoroti tentang hal ini dan akhirnya mendapatkan nasib yang sama dengan sesama intelektualis mendasarkan bahwa hapuslah asumsi awal yang menyatakan ini sebagai madzhab pokok.
Dalam beberapa runutan pemikiran berikutnya, ia banyak menjelaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah lahir dengan sebab bahwa ini adalah pondasi ideologi yang tak bisa ditawar-tawar. Pemahaman ini kemudian dikembalikan dengan watak asli Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang memberikan otoritas penuh kepada ulama untuk mempertahankan ilmu dan hak atas menafsirkan agama dari kesembronoan anak muda. Sebuah bangunan pengetahuan yang dibenturkan dengan prinsip berfikir yang tawassuth (Moderat), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan) yang menjadi pembuka wacana inteletualitas ditubuh NU.
Satu kesimpulan awal yang diambil dari pemaparan diatas adalah para ulama merasa jijik dengan pembaharuan yang berefek pada pengutak-atikan ideologi yang diajarkan sebagai pondasi awal di pesantren berbasis NU. Jika dilakukan hal demikian, hancurlah pondasi yang selama ini dibangun, selain pengkultusan yang juga akan hilang begitu saja, sebuah penghormatan tinggi kepada kiai.
Berkembangnya dugaan bahwa ini terjadi karena tradisi Islam yang ada juga masih menimbulkan pertanyaan, karena Islam bukan lahir di Indonesia tetapi tersebar sampai ke negara ini. Maka, kemudian yang terjadi adalah bahwa Islam mengelaborasikan diri terhadap tradisi bangsa ini dengan meng-Islam-kan beberapa diantaranya. Persinggungan inipun menjadi sebuah masalah, bukan hanya karena belum berhasilnya menghilangkan rasa ketradisian yang asli, tetapi juga pada sebuah pertanyaan apakah sebuah tradisi Islam yang ada adalah tradisi asli dari bangsa Arab? atau jangan-jangan sudah terakulturasi dengan budaya Gujarat?. Hal ini menjadi sebuah pemikiran serius tersendiri dalam mencapai sebuah kebenaran.
Lebih lanjut, konstruksi pemikiran yang ada sejatinya haruslah dihapuskan jika memang mau membahas konsep Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dengan lebih komprehensip. Kalau tidak, yang ada adalah stempelisasi. Pemurtadan terhadap ideologi yang ada, karena mengutak-atik yang dianggap tak akan bersalah dan tak dapat disalahkan. Pemahaman yang sejati tentang makna Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dan perdebatannya memang diakui haruslah dimulai dari sebuah asumsi bahwa ia adalah sebuah Manhaj al-Fikr (metode berpikir), bukan madzab yang berkarakteristik sebagaimana di atas.
BAGIAN IAhlussunnah wal Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr
Perspektif Sosial Ekonomi
Menyangkut bagaimana Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dikerangkakan sebagai alat baca, perlu kiranya kita mulai pembacaan dan identifikasi persoalan yang dilanjutkan dengan perumusan kerangka teoritis dengan dilengkapi kerangka tawaran langkah-langkah yang akan kita ambil baik strategis maupun taktis.
Pertama, perlunya pembacaan yang cukup cermat atas realitas sosial ekonomi Indonesia. Ini diperlukan terutama untuk mengurai lapis-lapis persoalan yang ada dan melingkupi kehidupan sosial-ekonomi kita. Di antara beberapa persoalan yang harus kita dekati dalam konteks ini adalah; Pertama, fenomena kapitalisme global yang termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world bank dan juga IMF, serta institusi-institusi pendukungnya. Kedua, semakin menguatnya institusi-institusi ekonmi kepanjangan tangan kekuatan global tersebut di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifest melalui kekuatan bisnis modal dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi global, ataupun melalui TNC atau MNC. Ketiga, liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor -impor.
Fenomena pertama berjalan dengan kebutuhan pasar dalam negeri yang sedang mengalami kelesuan investasi dan kemudian mendorong pemerintah untuk mengajukan proposal kredit kepada IMF dan WB. Pengajuan kredit tersebut membawa konsekuensi yang cukup signifikan karena Indonesia semakin terintegrasi dengan ekonomi global. Hal ini secara praktis menjadikan Indonesia harus tunduk pada berbagai klausul dan aturan yang digariskan baik oleh WB maupun IMF sebagai persyaratan pencairan kredit. Dan aturan-aturan itulah yang kemudian kita kenal dengan structural adjustment program (SAP), yang antara lain berwujud pada; Pertama, pengurangan belanja untuk pembiayaan dalam negeri yang akan berakibat pada pemotongan subsidi masyarakat. Kedua, dinaikkannya pajak untuk menutupi kekurangan pembiayaan akibat diketatkan APBN. Ketiga, peningkatan suku bunga perbankan untuk menekan laju inflasi. Keempat, liberalisasi pasar yang berakibat pada terjadinya konsentrasi penguasaan modal pada segelontir orang dan liberalisasi perdagangan yang mengakibatakan munculnya penguasaan sektor industri oleh kelompok yang terbatas. Kelima, privatisasi BUMN yang berakibat pada penguasaan asst-aset BUMN oleh para pemilik asing. Keenam, restrukturisasi kelayakan usaha yang mengakibatkan munculnya standar usaha yang akan mempersulit para pelaku usaha menengah dan kecil.
Karakter umum liberalisasi yang lebih memberikan kemudahan bagi arus masuk barang dan jasa (termasuk invesasi asing) dari luar negeri pada gilirannya akan mengakibatkan lemahnya produksi domestic karena harus bersaing dengan produk barang dan jasa luar negeri. Sementara di level kebijakan pemerintah semakin tidak diberi kewenangan untuk mempengaruhi regulasi ekonomi yang telah diambil alih sepenuhnya oleh pasar. Sebuah ciri dasar dari formasi sosial neo-liberal yang menempatkan pasar sebagai aktor utama. Sehingga pengelolaan ekonomi selanjutnya tunduk pada mekanisme pasar yang float dan fluktuatif.
Implikasi yang muncul dari pelaksanaan SAP ini pada sektor ekonomi basis (petani, peternak, buruh, dan lain sebagainya) adalah terjadinya pemiskinan sebagai akibat kesulitan-kesulitan stuktural yang mereka hadapi akibatnya menguntungkan investor asing. Terlebih ketika sektor ekonomi memperkenalkan istilah foreign direct investment (FDI) yang membawa arus deras investor asing masuk ke Indonesia secara langsung. Derasnya arus investasi yang difasilitasi oleh berbagai kebijakan tersebut pada gilirannya akan melemahkan para pelaku usaha kecil dan menengah.
Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, ada beberapa garis besar catatan kita atas realitas sosial-ekonomi; Pertama, tidak adanya keberpihakan Negara kepada rakyat. Ini bisa kita tengarai dengan keberpihakan yang begitu besar terhadap kekeutan-kekuatan modal internasional yang pada satu segi berimbas pada marjinalisasi besar-besaran terhadap kepentingan umat. Terhadap persoalan tersebut kita perlu mengerangkan sebuah model pengukuran pemihakan kebijakan. Dalam khazanah klasik kita mengenal satu kaidah yang menyatakan bahwa kebijakan seorang imam harus senantiasa mengarah kepada tercapainya kemaslahatan umat (Tasarruf al-Imam ‘ala al-Raiyati manuntun bi al-Maslahah).
Kedua, tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas. Arus investasi yang mendorong laju industrialisasi pada satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri. Namun pada segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat dirugikan. Dalam point ini kita menemukan tidak adanya keseimbngan distribusi hasil antara pihak investor dengan tenaga kerja. investor selalu berada dalam posisi yang diuntungkan, sementara pekerja selalu dalam posisi yang dirugiakn. Sebuah kondisi yang akan mendorong terjadinya konglomerasi secara besar-besaran. Sehingga diperlukan pemikiran untuk menawarkan jalan penyelesaian melalui apa yang kita kenal dengan profit sharing. Yang dalam khazanah klasik kita kenal dengan mudharabah ataupun mukhabarah. Sehingga secara opertif pemodal dan pekerja terikat satu hubungan yang saling menguntungkan dan selanjutnya berakibat pada produktifitaas kerja.
Ketiga, pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab kebutuhan yang ditanggung oleh pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu mengkebiri hak-hak pekerja. Ini terjadi karena hanya didasarkan pada nilai nominal dan bukan kontribusi dalam proses produksi. Dalam persoalan ini kita ingin menawarkan modal manajemen upah yang didasarkan pada prosentasi kontribusi yang diberikan oleh pekerja kepada perusahaan ataupun proses produksi secara umum. Standarisasi yang kita sebut dengan UPH (upah prosentasi hasil) pada seluruh sektor ekonomi. Salah satu pertimbangan usulan ini adalah kaidah atau sebuah ayat bahwa harus ada distribusi kekayaan dalam tubuh umat itu secara adil dan merata untuk mencegah adanya konglomerasi ekonomi.
Keempat, tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan. Ataupun contoh lain yang mengindikasikan satu kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan Negara lebih banyak diorientasikan semata untuk menarik investasi sebesar-besarnya tanpa pernah memikirkan implikasi yang akan muncul dilapangan. Termasuk potensi dirugikannya masyarakat baik secara ekologis (lingkungan dalam kaitannya dengan limbah industri), ekonomis (tidak berimbangnya penghasilan dengan daya beli), ataupun secara geografis (dalam hal semakin berkurangnya lahan pertanian ataupun perkebunan). Hampir tidak ada klausul level ini kita menuntut pemberlakuan undang-undang pasal 28b UUd 1945 serta perlakuan perlindungan hak pekerja yang dicetuskan kepada konferensi ILO.
Kelima, perlunya masyaraakat dilibatkan dalam pembicaraan mengenai hal-hal penting berkaitan dengan pembuatan rencana kebijakn investasi dan kebijakan-kebijakan lain yang berhubungan secara langsung dengan hajat hidup orang banyak. Ini diperlukan untuk mengantisipasi potensi resistan yang ada dalam masyarakat termasuk scenario plan dari setiap kebijakan. Berkaitan dengan ini smapai di level kabupaten/kotamadya bahkan tingkat desa masih terdapat ketidakadilan informasi kepada masyarakat. Sehingga masyarakat hampir-hampir tidak mengetahui apa yang telah, sedang dan akan dilakukan pemerintah di wilayah mereka. Kondisi demikian pada banyak level akan merugikan masyarakat yang seharusnya mengetahui informasi-informasi tersebut secara merata.
Hal lain yang juga menyangkut persoalan ekonomi adalah perlunya elaborasi atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi kerangka-kerangka operasional Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah sebagai manhaj al-fikr. Kebutuhan akan elaborasi ini dirasa sangat mendadak, terutama mengingat adanya kebingungan di beberapa tempat menyangkut ideologi dasar PMII dan kerangka paradigmanya terlebih jika dikaitkan dengan kemapuan Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah untuk menyediakan kerangka operatif yang akan memandu kader-kader PMII dilapangan masing-masing.
Pembicaraan mengenai berbagai persoalan tersebut mengantar kita untuk menawarkan langkah praktis berupa kerangka pengembangan ekonomi yang kemudian kita sebut sebagai konsep ekonomi bedikari. Konsep ini secara umum bisa kita definisikan sebagai konepsi pengelolaan ekonomi yang dibangun di atas kemampuan kita sebagai sebuah Negara.untuk mendukung tawaran tersebut, lima langkah stategis kita usulkan; Pertama, adanya penyadaran terhadap masyarakat tentang struktur penindasan yang terjadi. Kedua, penghentian hutang luar negeri. Ketiga, adanya internalisasi ekonomi Negara. Keempat, pemberlakuan ekonomi political dumping. Kelima, maksimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dengan pemanfaatan tekhnologi berbasis masyarakat lokal (society-based technology).
Secara taktis langkah yang kita tawarkan yaitu: Pertama, perlunya sosialisasi atau kampanye tentang struktur penindasan yang terjadi pada masyarakat. Kedua, advokasi kepada masyarakat. Ketiga, perlunya penegasan pembenahan pertanggungjawaban pengelolaan hutang luar negeri langsung kepada presiden ketika meletakkan jabatan. Keempat, penggunaan dan maksimalisasi seluruh resources dalam negeri (sumber daya alam, pemanfaatan SDM, kultur dan juga pengetahuan). Kelima, nasionalisasi tekhnologi internasional.
BAGIAN IIAhlu Sunnah wa al- Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr
Prespektif Sosial Politik, Hukum dan HAM
Akar permasalahan sosial, politik, hukum dan HAM terletak pada masalah kebijakan (policy). Satu kebijakan seyogyanya berdiri seimbang di tengah relasi “saling sadar” antara pemerintah, masyarakat dan pasar. Tidak mungkin membayangkan satu kebijakan hanya menekan aspek kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam satu kebijakan harus senantiasa melihat dinamika yang bergerak di orbit pasar. Dalam kasus yang lain tidak bias jika kemudian pemerintah hanya mempertimbangkan selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.
Persoalan muncul ketika: Pertama, kebijakan dalam tahap perencanaan, penetapan, dan pelaksanaannya seringkali monopoli oleh pemerintah. Dan selama ini kita melihat sedikit sekali preseden yang menunjukan keseriusan pemerintah untuk melibatkan masyarakat. Kedua, kecendrungan pemerintah untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada beebrapa segi seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat. Kedua kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas nama kepentingan pemerintah dan selera pasar. Dan akan menciptakan kondisi yang memfasilitasi tumbuhnya dominasi dan bahkan otoritarianisme baru.
Kecendrungan demikian pada beberapa segi mewakili kepentingan untuk melakukan sentralisasi kekuasaan yang akan mengakibatkan munculnya kembali kedzaliman, ketidakadilan, dan ketidaksejahteraan. Dalam realitas demikian harus dilakukan desentralisasi sebagai memecah konsentrasi kekuasaan oleh satu pihak secara dominan. Yakni upaya balancing of power, yang diorientasikan untuk mendorong terjadinya perimbangan kekuatan, baik kekuatan masyarakat sipil, kekuatan pasar maupun kekuatan pemerintah. Bagaimana kemudian PMII merumuskan strategi gerakannya dalam menyikapi kondisi demikian, adalah pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan. Ini diperlukan terutama untuk memberikan panduan bagi kolektivitas gerakan kader PMII. Selama ini, PMII sebagai organisasi pergerakan masih bergerak di tempat, oleh karena itu ke depan perlu adanya strategi gerakan PMII untuk menyikapi itu.
Strategi gerakan PMII seharusnya mencakup dua aspek, yaitu internal dan eksternal. Strategi pertama, yaitu melakukan penguatan internal PMII yang meliputi strategi perjuangan, membangun pandangan hidup, dan pegangan hidup. Sehingga, PMII diharapakan memiliki daya dobrak terhadap kekuatan-kekuatan dominan dan otoriter. Yang kedua, aspek eksternal. PMII harus melakuakan penyegaran terhadap masyarakat bawah atau sipil atas ketertindasannya dari kekuatan dominan. Dan selanjutnya adalah PMII harus bisa mengupayakan atau menembus infra struktural terutama dalam persoalan media, karena selama ini masih kalah dengan “Inul”. PMII harus bisa melakukan bargaining power dengan pemerintah melalui jalan struktural, termasuk melakuakan gerakan empowering civil society.
Kemudian kaitannya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang juga menjadi nilai dasar (NDP) PMII, dimana substansinya adalah jalan tengah, maka sudah sepatutnya bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk mencari titik temu sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu, PMII mengikuti nilai Ahlussunnah wal Jama’ah. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tawazun, akan dapat melahirkan nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang ta’adul. Dalam hal ini, yang menjadi titik tekan adalah dengan strategi dapat meruntuhkan kekuasaan dominan dan otoriter yang pada akhirnya bermuara menjadi gerakan revolusiner.
Jika demikian, PMII harus menjawab pertanyaan tersebut. Kalaupun harus, maka cara revolusioner itu ditempuh sebagai langkah terakhir. Maka yang harus dilakukan PMII adalah gerakan revolusi dengan maksud merubah tatanan, tapi bukan sengaja membuat kekerasan untuk menuju tatanan yang lebih baik dengan alasan kemaslahatan. Ketika pemerintah itu otoriter, jelas tidak selaras dengan nilai-nilai dalam PMII, tasharrufal-al-imam manutun ‘ala raiyyati kaitannya dengan kulluklum ra’in wa kullukum mas’ulunan raiyytih. Meski disadari, memperbaiki tatanan merupakan pekerjaan yang tidak mudah, apalagi tatanan tersebut bersifat otoriter. Sudah sepatutnya PMII bergerak merubahnya. Upaya serius menstransformasikan nilai-nilai Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah sebagai salah satu sistem nilai yang terpatri menjadi ideologi pergerakan PMII adalah mendesak, termasuk dalam menata ulang kondisi sosial politik yang amburadul.
Sekali lagi, cara revolusioner merupakan langkah akhir . ketika ada alternatif lain win win solution atau ishlah bisa ditawarkan, maka cara revolusioner meski dihindarkan. Saat ini kondisi sosial politik Indonesia mengalami degradasi luar biasa. Ada empat variabel yang dapat membantu mencari akar persoalan.
Pertama, Negara dan pemerintahan. Dalam hal ini belum mampu menjawab tuntutan masyarakat kelas bawah. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang sebtulnya tidak berpihak pada rakyat, seperti adanya kenaikan harga-harga, merupakan salah satu pemicu munculnya ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara Negara.
Kedua, militer. Pada dasarnya adanya militer adalah karena untuk mengamankan Negara dari ancaman, bukan malah mengancam. Selama 32 tahun masyarakat Indonesia mempunyai pengalaman pahit dengan perlakuan-perlakuan militer. Meski, dalam hal tersebut harus ada pemilihan, secara institusional, institusi dan secara personal. Keinginan menjadikan militer professional merupakan cerminan adanya keinginan militer untuk berubah lebih baik. Namun, penegasan dan upaya ke arah professionalitas militer masih belum cukup signifikan dan menampakkan hasil. Peran militer terutama pada wilayah sosial politik menjadi cataan tersendiri yang harus dikontrol. Bukan berarti mengeliminir hak-hak militer sebagai salah satu komponen Negara yang juga berhak mengapresiasikan kehendaknya. Tetapi karena menyadari betul, militer sangat dibutuhkan pada wilayah dan pertahanan Negara, maka tidak seharusnya menarik-narik militer ke medan politik yang jelas-jelas bukanlah arena militer.
Ketiga, kalangan sipil. Ironisnya, ketika ada keinginan membangun tatanan civil society, yang arahnya ingin membangun supermasi sipil, namun kenyataannya kalangan sipil terutama politisi sipil acapkali mengusung urusan Negara (pemerintahan) serta militer ke wilayah politik yang lebih luas. Sehingga yang terjadi adalah ketidakjelasan peran dan fungsi masing-masing.
Fungsi dan peran (pemerintahan) adalah sebagai penyelenggara bukanlah sebagai penguasa tunggal. Oleh karena itu Negara selalu dikontrol. Namun contoh yang semestinya berasal dari masyarakat ataupun kalangan poitisi yang mewakili di parleman kecendrungannya seperti dijelaskan sebelumnya, menyeret-nyeret dan seringkali mencampuradukkan urusan pemerintah dan militer ke dalam wilayaah politik. Oleh karena itu dari ketiga variabel tersebut pada kondisi kekinian yang ada, perlu penegasan dan penjelasan terhadap peran dan fungsi serta posisinya masing-masing. Terutama bagi kalangan sipil yang tereduksi menjadi kalangan politisi untuk tidak membawa kepentingan-kepentingan politiknya memasuki arena lain. Jika itu tetap berlangsung (ketidakjelasan peran dan fungsi Negara, militer dan parlemen atau parpol bahkan lembaga peradilan) maka niscaya ketidakpercayaan rakyat semakin mengkristal terhadap semua institusi tersebut.
Pada fase itu, rakyat dapat dikatakan tidak lagi membutuhkan perangkat-pernagkat seperti Negara, militer, parlemen atau parpol, dan lembaga peradilan. Realitas seperti itu dapat kita saksikan sampai hari ini. Meski telah bebrapa kali berganti kepemimpinan nasional, ternyata masalah yang timbul lebih banyak, sementara persoalan-persoalan yang lama juga belum teratasi. Oleh karena itu, menata ulang tatanan Indonesia hari ini merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dan perlu kerjasama tanpa ada campur aduk antar fungsi masing-masing.
BAGIAN IIIAhlu Sunnah wa al-Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr
Presfektif Sosial Budaya
Persoalan social-budaya di Indonesia dapat dilihat dengan menggunakan; Pertama, analisa terhadap kondisi social budaya masyarakat, baik pada tingkatan lokal atau pada tingkat global. Kedua, analisa nilai-nilai budaya yang kemudian didalamnya terdapat nilai-nilai ke-Ahlussunnah wal Jama’ah-an sebagai nilai yang terpatri untuk melakukan perubahan ketika kondisi sosial budaya menjadi dasar pijakan. Dari itu semua, pembentukan karakter budaya menjadi tujuan akhirnya.
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks sosial budaya dijadikan nilai-nilai yang kemudian menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial budaya. Ekplorasi terhadap permasalahan lokal maupun global merupakan cara untuk mengetahui akar persoalan sosial budaya yang terjadi. Bahwa pada kenyataannya globalisasi ternyata mengikis budaya lokal didalam seluruh aspek kehidupan. Globalisasi tanpa kita sadari telah merusak begitu dalam sehingga mengaburkan tata sosial budaya Indonesia. Ironsnya, masyarkat menikmati produk-produk globalisasi sementara produk lokal menjadi teralienasi.
Permasalahan lain adalah adanya dominasi dari satu masyarakat, dalam hal ini adalah budaya dominan atas masyarakat yang memilki budaya minor. Hal ini merupakan satu pergeseran nilai akibat pengaruh sosial budaya masyarkat global yang global yang cenderung matrealistis dan hedonis, sehingga yang terjadi berikutnya adalah demoralisasi bukan hanya dimasyarakat, tetapi juga sudah merambah ditingkat penyelenggara Negara, poloitisi, militer, bahkan peradilan. Maka sebetulnya dalam konteks ini, kapitalisme atau globalisasi telah melakukan hegemoni terhadap kita. Perubahan global yang datang bertubi-tubi lewat media informasi menyebabkan relatifisme pemahaman terutama pemahaman keagamaan. Mental inferor dari Negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia akan suit hilang karena sejalan dengan keinginan menjadi superior dari Negara-negara maju.
Berangkat dari kondisi tersebut, perlu adanya strategi budaya untuk melakukan perlawanaan ketika hegemoni kapitalisme global semakn “menggila”. Salah satu straegi itu mnejadikan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai dasar strategi gerakan. Strategi yang dimaksud bisa dalam bentuk penguatan budaya-budaya lokal.
Dalam konteks sosial budaya, posisi Negara dengan masyarakat bukanlah vis a vis tetapi sebagaimana Negara, pasar dan globalisasi secara umum dapat sejajar. Terkait denga itu, PMII harus dapat menjembatani keinginan-keinginan masyarakat terhadap Negara agar kebijakan-kebijakan Negara tidak lagi merugikan masyarakat dan tidak lagi menguntungkan kapitalis global.
PMII harus secara tegas mengambil posisi ini untuk membantu mengantisipasi dampak ekonomi pasar dan globalisasi terhadap masyarakat.
Terutama untuk penerjemahan kebijakan Negara, kebijakan ekonomi pasar kemudian globalisasi secara umum yang berdampak pada pihak local yang sebetulnya menjadi sasaran distribusi barang. Juga mempengaruhi budaya. Disisnilah peran PMII dengan seperangkat nilai-nilai idealnya seperti tawazun,tasamuh dan ta’adul menjadi dasar guna menjembatani kesenjangan antara wilayah internal masyarakat Indonesia.
Berdasarkan hal itu maka pilihan agregasi PMII harus senantiasa diorientasikan untuk mengerangkakan formulasi rekayasa sosial yang diabdiakn sebesar-besarnya bagi pemberdayaan masyarakat dihadapan Negara maupun pasar. Sehingga dapat tercipta perimbangan kekuatan yang akan memungkinkan terbentuknya satu tatanan masyarakat yang relasional-partisipatif antara Negara, pasar, PMII dan masyarakat, dimana PMII dengan masyarakat merupakan kesatuan antara system dengan subsisitem yang mencoba menjembatani masyarakat, Negara dan pasar. PMII dengan demikian berdiri dalam gerak transformasi harapan dan kebuthan masyarakat dihadapan Negara dan pasar.

SEJARAH PMII

Sejarah PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII: 1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959. 2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada. 3. Pisahnya NU dari Masyumi. 4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU. 5. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah. Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU. Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma’il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU. Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahsiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:1. A. Khalid Mawardi (Jakarta) 2. M. Said Budairy (Jakarta) 3. M. Sobich Ubaid (Jakarta) 4. Makmun Syukri (Bandung) 5. Hilman (Bandung) 6. Ismail Makki (Yogyakarta) 7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta) 8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta) 9. Laily Mansyur (Surakarta) 10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang) 11. Hizbulloh Huda (Surabaya) 12. M. Kholid Narbuko (Malang) 13. Ahmad Hussein (Makassar)Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.

Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.
Independensi PMIIPada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII. Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain. Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.
Nilai Dasar Pergerakan
Berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berusaha menggali sumber nilai dan potensi insan warga pergerakan untuk dimodifikasi di dalam tatanan nilai baku yang kemudian menjadi citra diri yang diberi nama Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII. Hali ini dibutuhkan di dalam memberikan kerangka, arti dan motivasi dan wawasan pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenar terhadap apa saja yang akan dan mesti dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini.Insaf dan sadar bahwa semua itu adalah kejarusan bagi setiap fungsionaris maupun anggota PMII untuk memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara orang perorang maupun bersama-sama.
BAB IARTI, FUNGSI, DAN KEDUDUKAN
Arti : Secara esensial Nilai Dasar Pergerakan ini adalah suatu sublimasi nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan kerangka pemahaman keagamaan Ahlussunnah wal jama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah dan mendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari dan menginspirasi Nilai Dasar Pergerakan ini meliputi cakupan aqidah, syari’ah dan akhlak dalam upaya kita memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai pemahaman keagamaan yang paling benar.
Fungsi :
Landasan berpijak: Bahwa NDP menjadi landasan setiap gerak langkah dan kebijakan yang harus dilakukan.
Landasan berpikir : Bahwa NDP menjadi landasan pendapat yang dikemukakan terhadappersoalan-persoalan yang dihadapi.
Sumber motivasi : Bahwa NDP menjadi pendorong kepada anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai dengan nilai yang terkandung di dalamnya. Kedudukan :
Rumusan nilai-nilai yang seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal dalam berbagai aturan dan kegiatan PMII.
Landasan dan dasar pembenar dalam berpikir, bersikap, dan berprilaku.BAB IIRUMUSAN NILAI DASAR PERGERAKAN
1. TAUHID : Meng-Esakan Allah SWT, merupakan nilai paling asasi yang dalam sejarah agama samawi telah terkandung sejak awal keberadaan manusia.
Allah adalah Esa dalam segala totalitas, dzat, sifat-sifat, dan perbutan-perbuatan-Nya. Allah adalah dzat yang fungsional. Allah menciptakan, memberi petunjuk, memerintah, dan memelihara alam semesta ini. Allah juga menanamkan pengetahuan, membimbing dan menolong manusia. Allah Maha Mengetahui, Maha Menolong, Maha Bijaksana, Hakim, Maha Adil, dan Maha Tunggal. Allah Maha Mendahului dan Maha Menerima segala bentuk pujaan dan penghambaan.
Keyakina seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari pada alam semesta, serta merupakan kesadaran dan keyakinan kepada yang ghaib. Oleh karena itu, tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memadu, dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan, dan perwujudan dalam perbuatan. Maka konsekuensinya Pergerakan harus mampu melarutkan nilai-nilai Tauhid dalam berbagai kehidupan serta terkomunikasikan dan mermbah ke sekelilingnya. Dalam memahami dan mewujudkan itu, Pergerakan telah memiliki Ahlussunnah wal jama'ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan keyakinan itu.
2. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH.
Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baik kejadian dan menganugerahkan kedudukan terhormat kepada manusia di hadapan ciptaan-Nya yang lain.
Kedudukan seperti itu ditandai dengan pemberian daya fikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsi sebagai khalifah dan hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia memberanikan diri untuk mengemban amanat berat yang oleh Allah ditawarkan kepada makhluk-Nya. Sebagai hamba Allah, manusia harus melaksanakan ketentuan-ketentauan-Nya. Untuk itu, manusia dilengkapi dengan kesadaran moral yang selalu harus dirawat, jika manusia tidak ingin terjatuh ke dalam kedudukan yang rendah.
Dengan demikian, dalam kehidupan manusia sebagai ciptaan Allah, terdapat dua pola hubungan manusia dengan Allah, yaitu pola yang didasarkan pada kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dan sebagai hamba Allah. Kedua pola ini dijalani secara seimbang, lurus dan teguh, dengan tidak menjalani yang satu sambil mengabaikan yang lain. Sebab memilih salah satu pola saja akan membawa manusia kepada kedudukan dan fungsi kemanusiaan yang tidak sempurna. Sebagai akibatnya manusia tidak akan dapat mengejawentahkan prinsip tauhid secara maksimal.
Pola hubungan dengan Allah juga harus dijalani dengan ikhlas, artinya pola ini dijalani dengan mengharapkan keridloan Allah. Sehingga pusat perhatian dalam menjalani dua pola ini adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil optimal sepenuhnya kehendak Allah. Dengan demikian, berarti diberikan penekanan menjadi insan yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah. Dengan menyadari arti niat dan ikhtiar, sehingga muncul manusia-manusia yang berkesadaran tinggi, kreatif dan dinamik dalam berhubungan dengan Allah, namun tetap taqwa dan tidak pongah Kepada Allah.
Dengan karunia akal, manusia berfikir, merenungkan dan berfikir tentang ke-Maha-anNya, yakni ke-Mahaan yang tidak tertandingi oleh siapapun. Akan tetapi manusia yang dilengkapi dengan potensi-potensi positif memungkinkan dirinyas untuk menirukan fungsi ke-Maha-anNya itu, sebab dalam diri manusia terdapat fitrah uluhiyah - fitrah suci yang selalu memproyeksikan terntang kebaikan dan keindahan, sehingga tidak mustahil ketika manusia melakukan sujud dan dzikir kepadaNya, Manusia berarti tengah menjalankan fungsi Al Quddus. Ketika manusia berbelas kasih dan berbuat baik kepada tetangga dan sesamanya, maka ia telah memerankan fungsi Arrahman dan Arrahim. Ketikamanusia bekerja dengan kesungguhan dan ketabahan untuk mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi Al Ghoniyyu. Demikian pula dengan peran ke-Maha- an Allah yang lain, Assalam, Al Mukmin, dan lain sebagainya. Atau pendek kata, manusia dengan anugrah akal dan seperangkat potensi yang dimilikinya yang dikerjakan dengan niatyang sungguh-sungguh, akan memungkinkan manusia menggapai dan memerankan fungsi-fungsi Asma'ul Husna.
Di dalam melakukan pekerjaannya itu, manusia diberi kemerdekaan untuk memilih dan menentukan dengan cara yang paling disukai. 14) Dari semua pola tingkah lakunya manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai yang diupayakan, karenanya manusia dituntut untuk selalu memfungsikan secara maksimal ke4merdekaan yang dimilikinya, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam konteks kehidupan di tengah-tengah alam dan kerumunan masyarakat, sebab perubahan dan perkembangan hanyalah milikNya, oleh dan dari manusia itu sendiri.15)
Sekalipun di dalam diri manusia dikaruniai kemerdekaan sebagai esensi kemanusiaan untuk menentukan dirinya, namun kemerdekaan itu selalu dipagari oleh keterbatasan-keterbatasan, sebab prerputaran itu semata-mata tetap dikendalaikan oleh kepastian-kepastian yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana,yang semua alam ciptaanNya iniselalu tunduk pada sunnahNya, pada keharusan universal atau takdir. 16 ) Jadi manusia bebas berbuat dan berusaha ( ikhtiar ) untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah dia menjadi mukmin atau kafir, pandai atau bodoh, kaya atau miskin, manusia harus berlomba-lomba mencari kebaikan, tidak terlalu cepat puas dengan hasil karyanya. Tetapi harus sadar pula dengan keterbatasan- keterbatasannya, karaena semua itu terjadi sesuai sunnatullah, hukum alam dan sebab akibat yang selamanya tidak berubah, maka segala upaya harus diserrtai dengan tawakkal. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya harus selalu dinamis, penuh dengan gerak dan semangat untuk berprestasi secara tidak fatalistis. Dan apabila usaha itu belum berhasil, maka harus ditanggapi dengan lapang dada, qona'ah (menerima) karena disitulah sunnatullah berlaku. Karenanya setiap usaha yang dilakukan harus disertai dengan sikap tawakkal kepadaNya. 17 )
3. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MANUSIA
Kenyataan bahwa Allah meniupkan ruhNya kepada materi dasar manusia menunjukan , bahwa manusia berkedudukaan mulia diantara ciptaan-ciptaan Allah.
Memahami ketinggian eksistensi dan potensi yang dimiliki manusia, anak manusia mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai warga dunia manusia adalah satu dan sebagai warga negara manusia adalah sebangsa , sebagai mukmin manusia adalah bersaudara. 18)
Tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lainnya , kecuali karena ketakwaannya. Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya , tetapi ada pula yang terlalu menonjol potensi kelemahannya, agar antara satu dengan yang lainnya saling mengenal, selalu memadu kelebihan masing-masing untuk saling kait mengkait atau setidaknya manusia harus berlomba dalam mencaridanmencapai kebaikan, oleh karena itu manusia dituntut untuk saling menghormati, bekerjasama, totlong menolong, menasehati, dan saling mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama.
Manusia telah dan harus selalu mengembangkan tanggapannya terhadap kehidupan. Tanggapan tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan kehidupan berupa hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan demikian maka hasil itu merupakan budaya manusia, yang sebagian dilestarikan sebagai tradisi, dan sebagian diubah. Pelestarian dan perubahan selalu mewarnai kehidupan manusia. Inipun dilakukan dengan selalu memuat nilai-nilai yang telah disebut di bagian awal, sehingga budaya yang bersesuaian bahkan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai tersebut dilestarikan, sedang budaya yang tidak bersesuaian diperbaharui.
Kerangka bersikap tersebut mengisyaratkan bergerak secara dinamik dan kreatif dalam kehidupan manusia. Manusia dituntut untuk memanfaatkan potensinya yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Melalui pemanfaatan potensi diri itu justru manusia menyadari asal mulanya, kejadian, dan makna kehadirannya di dunia.
Dengan demikian pengembangan berbagai aspek budaya dan tradisi dalam kehidupan manusia dilaksanakan sesuai dengan nilai dalam hubungan dengan Allah, manusia dan alam selaras dengan perekembangan kehidupandan mengingat perkembangan suasana. Memang manusia harus berusaha menegakan iman, taqwa dan amal shaleh guna mewujudkan kehidupan yang baik dan penuh rahmat di dunia. Di dalam kehidupan itu sesama manusia saling menghormati harkat dan martabat masing-masing , berderajat, berlaku adil dan mengusahakan kebahagiaan bersama. Untuk diperlukan kerjasama yang harus didahului dengan sikap keterbukaan, komunikasi dan dialog antar sesama. Semua usaha dan perjuangan ini harus terus -menerus dilakukan sepanjang sejarah.
Melalui pandangan seperti ini pula kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara dikembangkan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan kerelaan dan kesepakatan untuk bekerja sama serta berdampingan setara dan saling pengertian. Bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita bersama : hidup dalam kemajuan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Tolok ukur bernegara adalah keadilan, persamaan hukum dan perintah serta adanya permusyawaratan.
Sedangkan hubungan antara muslim ddan non muslim dilakukan guna membina kehidupan manusia dengan tanpa mengorbankan keyakinan terhadap universalitas dan kebenaran Islam sebagai ajaran kehidupan paripurna. Dengan tetap berpegang pada keyakinan ini, dibina hubungan dan kerja sama secara damai dalam mencapai cita-cita kehidupan bersama ummat manusia.Nilai -nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudsaraan antar insan pergerakan , persaudaraan sesama Islam , persaudaraan sesama warga bangsa dan persaudaraan sesama ummat manusia . Perilaku persaudaraan ini , harusd menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapatv memberikan kemanfaatan maksimal untuk diri dan lingkungan persaudaraan. 4. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM
Alam semesta adalah ciptaan Allah SWT. 19) Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya.20) Alam juga menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah. 21) Berarti juga nilai taiuhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan alam .
Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah menundukan alam bagi manusia , 22) dan bukan sebaliknya . Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam , bukan penghambaan terhadap Allah. Karena itu sesungguhnya berkedudukan sebagai khalifah di bumi untuk menjadikan bumi maupun alam sebagai obyek dan wahana dalam bertauhid dan menegaskan dirinya. 23)
Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan kepada kebaikan di akhirat, 24) di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. 25) Sebab akhirat adalah masa masa depan eskatologis yang tak terelakan . 26) Kehidupan akhirat akan dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar fungsional dan beramal shaleh. 27)
Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan . Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam , memakmurkan bumi dan menyelenggarakan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara tersebut dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan ,nafkah dan masa depan. Maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama. Hidup bersama antar manusia berarti hidup dalam kerja sama , tolong menolong dan tenggang rasa.
Salah satu hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia . Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan, dan hukum tertentu; karena alam ciptaan Allah buykanlah sepenuhnya siap pakai, melainkan memerlukan pemahaman terhadap alam dan ikhtiar untuk mendayagunakannya.
Namun pada dasarnya ilmu pengetahuan bersumber dari Allah. Penguasaan dan pengembangannyadisandarkan pada pemahaman terhadap ayat-ayat Allah. Ayat-ayat tersebut berupa wahyu dan seluruh ciptaanNya. Untuk memahami dan mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah itulah manusia mengerahkan kesadaran moral, potensi kreatif berupa akal dan aktifitas intelektualnya. Di sini lalu diperlukan penalaran yang tinggi dan ijtihad yang utuh dan sistimatis terhadap ayat-ayat Allah, mengembangkan pemahaman tersebut menjadi iptek, menciptakan kebaruan iptek dalam koteks ke,manusiaan, maupun menentukan simpul-simpul penyelesaian terhadap masalah-masalah yang ditimbulkannya. Iptek meruipakan perwujudan fisik dari ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, terutama digunakan untuk memudahkan kehidupan praktis.
Penciptaan, pengembangan dan penguasaan atas iptek merupakan keniscayaan yang sulit dihindari. Jika manusia menginginkan kemudahan hidup, untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama bukan sebaliknya. Usaha untuk memanfaatkan iptek tersebut menuntut pengembangan semangat kebenaran, keadilan , kmanusiaan dan kedamaian. Semua hal tersebut dilaksanakan sepanjang hayat, seiring perjalanan hidup manusia dan keluasan iptek. Sehingga, berbarengan dengan keteguhan iman-tauhid, manusia dapat menempatkan diri pada derajat yang tinggi.
BAB IIIPENUTUP
Itulah Nilai Dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang dipergunakan sebagai landasan teologis normatif, etis dan motivatif dalam pola pikir, pola sikap dan pola perilaku warga PMII, baik secara perorangan maupun bersama-sama dan kelembagaan. Rumusan tersebut harus selalu dikaji dan dipahami secara mendalam, dihayati secara utuh dan terpadu, dipegang secara teguh dan dilaksanakan secara bijaksana.
Dengan Nilai Dasar Pergerakan tersebut dituju pribadi muslim yang berbudi luhur , berilmu, bertaqwa, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya, yaitu sosok ulul albab Indonesia yang sadar akan kedudukan dan peranannya sebagai khalifah Allah di bumi dalam jaman yang selalu berubah dan berkembang , beradab, manusiwi, adil penuh rahmat dan berketuhanan.

Kamis, 13 Januari 2011

50 TAHUN PMII GET BE SPIRIT...................................................

Hari Lahir Emas 50 Tahun PMII: Refleksi dan Visi Masa Depan
23 April 2010

Share

Awal mulanya, mereka masih berkumpul dalam wadah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Lalu, pada forum Konfrensi Besar ke II (14-16 Maret 1960), mengkristal gagasan perlunya wadah yang lebih otonom dan spesifik untuk mewadahi aktivitas mahasiswa NU. Gagasan ini lahir dikarenakan sudah dinilai perlu mahasiswa berlatarbelakang NU atau ahlussunnah wal jamaah memiliki wadah sendiri dan bukan sebatas departemen perguruan tinggi dibawah struktur IPNU.

Lalu dibentuklah ‘panitia kecil’ yang berjumlah 13 orang yang berasal dari Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Makassar, yang kemudian dikenang sebagai pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sebelum PMII membesar menjadi organisasi kemahasiswaan NU, telah ada organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi dengan NU, namun dalam lingkup yang terbatas, seperti Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU, 1955) di Jakarta dan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU, 1955) di Surakarta. Akhirnya, pada tanggal 17 April 1960 (21 Syawal 1379 Hijriyah) ditasbihkan sebagai tanggal lahir PMII bersamaan dengan diberlakukannya peraturan dasar organisasi.

Ketika didirikan tahun 1960, PMII telah memiliki 13 kepengurusan cabang dan masih menggunakan nama pimpinan pusat (PP). Yang menarik adalah pertumbuhan PMII ditopang oleh LP Maarif (lembaga yang membawahi pengembangan pendidikan dibawah Nahdlatul Ulama). Sinergi ini memungkinkan PMII berkembang dengan pesat, terbukti, pada kongres ke II (25-29 Desember 1963), jumlah PMII telah bertambah menjadi 31 cabang. PMII bisa memiliki cabang dipesantren-pesantren dengan anggota para santri yang sudah lulus Aliyah atau tahap pengajian yang sudah sesuai.

Sebagaimana organisasi kemahasiswaan lainnya, PMII adalah anak dari zamannya. Bilangan tahun 1960 adalah tahun-tahun politik dan senjakala dari kekuasaan Orde Lama. NU sendiri, yang dipimpi oleh Idham Chalid, juga berstatus sebagai partai politik dan tiga besar dalam pemilu pertama tahun 1955. Dan, PMII pun tak bisa melepaskan diri dari tarik menarik juga praktik politik praktis yang menjangkiti organisasi kemahasiswaan dizaman itu. Semua kita sudah mahfum, karena panasnya kondisi politik dan usia republik yang masih sangat muda, politik berkembang menjadi panglima dibawah presiden Soekarno. Organisasi Islam seperti Masyumi ‘menggunakan HMI’ dan PKI mempunyai sayap bernama CGMI, selain partai NU dengan PMII-nya.

Bersamaan dengan perjalanan dan penataan internal organisasi, dalam satu pertemuan di Bogor, ditegaskan butir-butir pemikiran yang hingga kini terus hidup dalam kesadaran kolektif warga pergerakan. Butir-butir itu adalah, pertama, bahwa warga PMII wajib mengamalkan prinsip ilmu pengetahuan bagi perbaikan masyarakat, bukan ilmu untuk ilmu, kedua, ‘pergerakan’ bermakna dinamika dan ‘kebebasan’ karena itu harus terus diciptakan ruang bagi aktulisasi diri dan peran mahasiswa, ketiga, bahwa pengabdian tertinggi PMII hanya pada bangsanya (Indonesia) dan organisasi hanyalah alat perjuangan semata. (dokumen historis Gelora Megamendung, Bogor, 17-25 April 1965).

Salah satu keputusan penting yang turut menandai transformasi PMII adalah deklarasi Munarjati Malang. Deklarasi Munarjati merupakan penegasan independensi PMII kelompok politik manapun. Faktor yang membuat dikeluarkannya deklarasi ini dalam Musyawarah Besar ke II (14-16 Juli 1972) adalah ‘berkenaan dengan situasi politik nasional, ketika peran partai politik dikebiri – bahkan partisipasi dalam pemerintahanpun sedikit demi sedikit dikurangi – dan mulai dihapuskan. Hal mulai dirasakan oleh NU yang notabene merupakan partai politik. Hal inipun dirasakan pula oleh organisasi dependennya, termasuk didalamnya PMII. Ditambah lagi dengan digiringnya peran mahasiswa dengan komando Back to Campus. Dalam kondisi seperti itu, maka PMII mencari alternatif baru dengan tidak lagi dependen kepada partai politik manapun’. (Fauzan Alfas, ke-PMII-an, 1989).

Selintas sejarah PMII diatas menggambarkan perjalanan PMII dalam merumuskan diri, peran, relasi dan perannya ditengah kehidupan bangsa yang sedang berbenah. Fase peralihan dari orde lama ke orde baru adalah fase yang sangat krusial, karena selain menyedot energi semua organisasi (kemahasiswaan) kedalam labirin kehidupan politik, juga membawa konsekuensi perpecahan bangsa yang berujung pada punah. Namun, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa PMII turut belajar dari sejarah komunitas dan bangsanya. Segenap kesalahan dimasa masa lalu tak perlu dijadikan kambing hitam apalagi menjadi mimpi buruk masa depan.

PMII Kini dan Visi Masa Depan

Tanpa bermaksud membanggakan diri secara berlebih, secara organisatoris PMII hari ini beranggotakan 220 pengurusan cabang (setingkat kabupaten/kota) dan 18 Pengurus Koordinator Cabang (PKC, setingkat propinsi). Fakta ini menegaskan bahwa sistem internal organisasi mampu bertahan (survive) ditengah perubahan zaman. Tentu saja kapasitas untuk survive itu dimungkinkan ada karena perbaikan terus menerus, khususnya yang berkaitan dengan sistem kaderisasi sebagai poros pembangunan sumberdaya manusia dan konstitusi organisasi sebagai perangkat utama aturan main. Selain itu, juga dilengkapi dengan perumusan terus menerus paradigma pergerakan yang dikoreksi oleh zaman yang berubah.

Dengan pertumbuhan pesat struktur organisasi seperti ini, secara internal PMII jelas memiliki tantangan : sejauhmana sistem besar ini berjalan secara efektif dan kontributif terhadap kebutuhan bangsanya, khususnya menopang gerak Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia. Pertanyaan ini juga menyaratkan model kepemimpinan dan manajemen organisasi yang modern dan cepat tanggap dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sub-bangsa yang begitu plural.

Dalam hemat kami, ada beberapa hal yang harus terus dipertahankan PMII sembari terus mengembangkan ruang-ruang pergerakan yang memungkinkan organisasi ini menjadi aktor penting dari perubahan sosial menuju masyarakat Indonesia yang lebih baik.

Pertama, PMII harus terus mendefinisikan dirinya sebagai warga dari habitat global, sebagaimana bangsa ini juga adalah bagian dari habitat global itu. Oleh karenannya, PMII tak bisa menjadi organisasi yang mengidap amnesia sejarah dan tak kritis membaca perubahan yang terjadi ditingkat internasional. Karena itu, PMII harus mengambil peran dalam mengkonsolidasi kekuatan kaum muda secara internasional, sebagaimana dahulu pernah dilakukan oleh angkatan tahun 1960-1970 di PMII, dengan menghadiri pertemuan pemuda di Moskow misalnya. Konsolidasi internasional itu berkaitan dengan usaha membangun kaukus kaum muda internasional yang concern terhadap agenda keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian dunia.

Kedua, PMII harus menjadi motor terdepan dalam mengaktualisasi nilai-nilai Islam Indonesia dan tegaknya negara Pancasila yang melindungi semua sub-bangsa di Nusantara. Islam Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan kini hidup dalam ruang batin masyarakat Indonesia yang sarat dengan moderatisme, toleransi, dan semangat kemanusiaan bersama. Hanya dengan mengembangkan sikap demikian, maka negara Pancasila pun bisa terus tegak sebagai sebuah ideologi kolektif dalam formasi negara seperi apa pun. Maka itu, kelenturan dan luasnya pergaulan kader-kader PMII dengan segenap komponen bangsa tanpa melihat asal-usul keyakinan dan suku adalah modal sejarah yang harus terus diregenerasikan hingga kapan pun.

Ketiga, PMII harus terus berperan sebagai poros kaderisasi mahasiswa dan stok yang menyiapkan pemimpin dilevel NU mapun bangsa ini. Kaderisasi adalah jantung yang menandai pembangunan sumberdaya manusia dan pendistribusian kader pergerakan kesegenap lini kehidupan bangsa. Sampai hari ini, walau belum banyak, tak bisa dipungkiri bahwa alumni-alumni PMII telah mampu membuktikan kapasitas dan perannya, khususnya dibidang politik dan pemerintahan. Kedepan, kaderisasi PMII harus mampu membuka ruang bagi pendsitribusian kader-kadernya ke lini ekonomi, profersional, bahkan militer sekalipun.

Keempat, dilingkup domestik yang lebih kecil, PMII harus memimpin usaha-usaha menciptakan kepemimpinan pergerakan berbasis pulau. Dengan geografi kepulauan seperti ini, Indonesia jelas bersandar pada sumberdaya manusia dan alam yang tersebar ditiap pulau itu yang memiliki karakteristik dan tingkat perkembangan berbeda-beda. Karena itu, logika oposisional seperti pusat dan daerah atau timur dan barat sudah seharusnya diinversi dengan logika yang lebih relasional dan afirmatif. Artinya, kerjasama antar pulau adalah agenda yang harus terus didorong, yang dimulai dari pemenuhan kebutuhan bersama hingga kerjasama-kerjasama yang bergerak keluar dari pemenuhan kebutuhan ansich.

Akhirnya, selamat merayakan 50 tahun perjalanan PMII. Untukmu satu tanah airku, untumu satu keyakinanku. PMII Mengabdi pada NU dan Bangsa; New Movement, New Generations and New Leadership for Indonesia Society. Dirgahayu 50 tahun PMII.[]

GELAR SENI ISLAMI

Selasa, 04 Januari 2011

PELATIHAN KADER DASAR (*PKD*) TAhun 2011 Coming Soon

A. DASAR PEMIKIRAN
Kemajuan budaya, kemajuan teknologi, telah membawa setiap manusia pada peradaban yang berbeda, peradaban yang lebih maju pula. Begitu pula pada pemikirannya, semakin maju dan berkembang. Hal ini tentunya tak boleh disia-siakan, pemikiran yang maju dan berkembang, nalar yang kritis, itu tidak boleh hanya untuk kepentingan sendiri. Ini perlu di transformasikan agar perkembangan yang baik dapat dirasakan pada setiap manusia. Khususnya dalam hal ini adalah mahasiswa yang notabene adalah makhluk yang diberi julukan sebagai agent of change yang dengan ilmu pengetahuannya dapat merubah segala yang kurang atau segala yang buruk menjadi suatu hal yang lebih baik.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai wadah pergerakan bagi para mahasiswa Islam Indonesia, merasa ikut terdorong untuk harus berpartisipasi dan wajib mendampingi bagi para mahasiswa-mahasiswa yang tergerak hatinya untuk perubahan yang lebih baik, demi tatanan hidup yang lebih baik. Mentransformasika nalar kritisnya, nalar kritis yang positif, untuk kemajuan umat manusia, kemajuan bangsa dan negaranya. Degan mengimplementasikan nilai dasar pergerakan yang ada pada jiwa, diharapkan akan mampu mendongkrak setiap keambiguan, setiap pergerakan yang stagnan, demi tercapainya kehidupan yang dinamis dan berkeadaban.
Berawal dari hal tersebut, untuk membangun kesadaran bagi jiwa-jiwa yang merindukan pergerakan untuk sebuah kemajuan, maka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Walisongo Purwokerto tahun 2010 melalui program kerja yang telah dicanangkan mengadakan PELATIHAN KADER DASAR. Adapun dengan TEMU KADER SAHABAT/i PMIIni akan menjadikan mahasiswa-mahasiswa yang dapat berfikir kritis terhadap segala hal yang terjadi dalam realita kehidupan ini dan mampu merubah kearah yang lebih baik.

B. NAMA KEGIATAN
Kegiatan ini bernama PELATIHAN KADER DASAR Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Walisongo Purwokerto.

C. TEMA KEGIATAN
Tema kegiatan ini adalah Internalisasi Nilai-Nilai Dasar Pergerakan berdasarkan analisis sosial, mewujudkan kader yang rahmatanlil’alamin
D. LANDASAN KEGIATAN
1. Landasan Idealis
a. Islam Ahlussunah Wal Jama’ah
b. Pancasila dan UUD 1945
c. Nilai-nilai dasar pergerakan
2. Landasan Struktural
Anggaran rumah tangga PMII Bab III bagian ke-2 pasal 4 tentang penerimaan anggota.
3. Landasan Historis
Program dan dokumentasi historis PMII.

E. TUJUAN KEGIATAN
Tujuan dilaksanakan kegiatan MAPABA adalah :
1. Utuk memperkuat basis PMII
2. Untuk menciptakan kader-kader yang ulul albab
3. Untuk menanamkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam PMII
4. Untuk menumbuhkan semangat keilmuan dan intelektualitas kader-kader PMII
5. Upaya untuk menemukan jati diri mahasiswa sebagai tulang punggung Bangsa dan Negara
6. Mempererat Tali Silaturrahim antar Sahabat/i PMII

F. PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan ini dilaksanakan pada :
Hari, tanggal : ...........................................
Tempat : ...........................................
Waktu : ...........................................

G. PESERTA
Peserta Pelatihan Kader Dasar adalah Seluruh Angoota PMII yang Sudah Melampaui Pengkaderan MAPABA.

H. SUSUNAN PANITIA
Terlampir

I. ESTIMASI DANA
Terlampir

J. MANUAL ACARA
Terlampir

K. PENUTUP


Demikian proposal ini kami buat sebagai acuan kegiatan yang akan kami laksanakan dan semoga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi semua pihak. Kami mengharapkan partisipasi serta dukunganya baik moril maupu materiil. Akhirnya kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi demi terlaksananya acara tersebut.

Wallahul Muafiq Illa Aqwamith Thariq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Purwokerto, 20 Desember 2010
PETUNJUK PELAKSANAAN
TEMU KADER SAHABAT PMII KE-I
Se-DULONGMAS































PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
(Indonesian Moslem Student Movement)
KOMISARIAT WALISONGO PURWOKERTO
Sekretariat : Jl. Pol. Soemarto Gg. Gunung Dieng No. 09 Purwanegara, Purwokerto Utara

DASAR PEMIKIRAN
Kemajuan budaya, kemajuan teknologi, telah membawa setiap manusia pada peradaban yang berbeda, peradaban yang lebih maju pula. Begitu pula pada pemikirannya, semakin maju dan berkembang. Hal ini tentunya tak boleh disia-siakan, pemikiran yang maju dan berkembang, nalar yang kritis, itu tidak boleh hanya untuk kepentingan sendiri. Ini perlu di transformasikan agar perkembangan yang baik dapat dirasakan pada setiap manusia. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai wadah pergerakan bagi para mahasiswa Islam Indonesia, merasa ikut terdorong untuk harus berpartisipasi dan wajib mendampingi bagi para mahasiswa-mahasiswa yang tergerak hatinya untuk perubahan yang lebih baik, demi tatanan hidup yang lebih baik. Mentransformasika nalar kritisnya, nalar kritis yang positif, untuk kemajuan umat manusia, kemajuan bangsa dan negaranya. Degan mengimplementasikan nilai dasar pergerakan yang ada pada jiwa, diharapkan akan mampu mendongkrak setiap keambiguan, setiap pergerakan yang stagnan, demi tercapainya kehidupan yang dinamis dan berkeadaban.
Berawal dari hal tersebut, untuk membangun kesadaran bagi jiwa-jiwa yang merindukan pergerakan untuk sebuah kemajuan, maka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Walisongo Purwokerto tahun 2010 melalui program kerja yang telah dicanangkan mengadakan TEMU KADER SAHABAT PMII Ke-I Se-DULONGMAS Adapun dengan TEMU KADER SAHABAT/i PMII ini Semoga akan menjadikan mahasiswa-mahasiswa yang dapat berfikir kritis terhadap segala hal yang terjadi dalam realita kehidupan ini dan mampu merubah kearah yang lebih baik dan juga tukar pengalam antar anggota PMII sebagai awal mula dimulai pergerakan.
NAMA KEGIATAN
Kegiatan ini bernama TEMU KADER SAHABAT/i PMII ke-I Se-Dulongmas Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Walisongo Purwokerto.

TEMA KEGIATAN
Tema kegiatan ini adalah .................................................

LANDASAN KEGIATAN
1. Landasan Idealis
a. Islam Ahlussunah Wal Jama’ah
b. Pancasila dan UUD 1945
c. Nilai-nilai dasar pergerakan
2. Landasan Struktural
Anggaran rumah tangga PMII Bab III bagian ke-2 pasal 4 tentang penerimaan anggota.
3. Landasan Historis
Program dan dokumentasi historis PMII.
TUJUAN KEGIATAN
Tujuan dilaksanakan kegiatan MAPABA adalah :
4. Utuk memperkuat basis PMII
5. Untuk menciptakan kader-kader yang ulul albab
6. Untuk menanamkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam PMII
7. Untuk menumbuhkan semangat keilmuan dan intelektualitas kader-kader PMII
8. Upaya untuk menemukan jati diri mahasiswa sebagai tulang punggung Bangsa dan Negara
9. Mempererat Tali Silaturrahim antar Sahabat/i PMII Se-Dulongmas

PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan ini dilaksanakan pada :
Hari, tanggal :sabtu s.d Ahad, 5 s.d 6 Februari 2011
Tempat :km w9 dan BUMPER Kendalisada

PESERTA
Peserta TKSPMII adalah Perwakilan 5 Anggota Masing-Masing Komisariat PMII Se-DULONGMAS ( Kedu, Pekalongan, Banyumas. Diantaranya
1. Kom. Walisongo Purwokerto
2. Kom. Soedirman Purwokerto
3. Kom. Dukuhwaluh Purwokerto
4. Kom. IAIG Cilacap
5. Kom. Universitas Sains Al Qur’an Wonosobo
6. Kom. STAINU Kebumen
7. Kom. Bina Bangsa Brebes
8. Kom. STAI Temanggung
9. Kom. Bina Negara Tegal


RINCIAN KEGIATAN
Rincian Kegiatan terjabarkan dalam Manual Acara

REGISTRASI PESERTA
Registrasi Peserta Kegiatan Temu Kader Sahabat PMII dilakukan dengan Persyaratan:
1. Peserta bisa Mendaftar Melalui Via Phone No. 085291454411 (Hanif) dan No (...........................)
2. Peserta dimintai Bantuan Dana @ Rp. 8.000,- denganFasilitas Sebagai Berikut :
- Tiket Tadabur Alam PMII ke Baturaden
- Logistik
- Modul Materi
- Souvenir
- Penginapan
- Transportasi

B. PENUTUP
Demikian JUKLAK ini kami buat sebagai acuan kegiatan yang akan kami laksanakan dan semoga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi semua pihak. Kami mengharapkan partisipasi serta dukunganya baik moril maupu materiil. Akhirnya kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi demi terlaksananya acara tersebut.
Wallahul Muafiq Illa Aqwamith Thariq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Purwokerto, 20 Desember 2010
Panitia Kegiatan
Ketua




Sahabat Sekretaris




Sahabat

Mengetahui
Pembina Komisariat Walisongo Purwokerto




Shbt. Nurma Ali Ridwan, M.Ag An Ketua Komisariat
Walisongo Purwokerto




Sahabat Yontomi

MANUAL ACARA
Sabtu,... Februari 2010
WAKTU KEGIATAN MATERI PEMATERI
08.00-08.30 Registrasi Peserta
08.30-09.00 Pengkondisian Sahabat

09.00-09.30 Pembukaan
09.30-12.00 SIMPOSIUM REGIONAL PMII Komisariat Se-Dulongmas “Mengawal PMII Sa’at ini dan Kedepan Mewujudkan Ke’adilan Bangsa” Kusdyanto (PKC Jawa Tengah) dan Mahbub Zaki ( Dem. PKC Jawa Tengah)
12.00-13.00 Isho
13.00-15.00 SIMPOSIUM REGIONAL PMII Komisariat Se-Dulongmas “Mengawal PMII Sa’at ini dan Kedepan Mewujudkan Ke’adilan Bangsa” Kusdyanto (PKC Jawa Tengah) dan Mahbub Zaki ( Dem. PKC Jawa Tengah)
15.00-16.00 ISHOMA
16.00-18.00 Ta’aruf Reneisance Cultur PMII yang “tidak Tahu Nama” PC PMII Purwokerto
18.00-19.30 ISHOMA
19.30-23.00 Sarasehan Regional PMII Struktural dan Kultural Masing-Masing Ketua Komisariat
23.00-04.00 Sleeping Indah

Minggu,....Februari 2011
WAKTU KEGIATAN MATERI PEMATERI
04.00-06.00 Sholat + Olahraga + Out Bone
06.00-07.00 MCK
07.00-12.00 Tadabur Alam
“Wisata + Diskusi Walisongo” Baturaden sekaligus Penghijaua PENGHIJAUAN ; “Rapatkan Barisan Hijaukan Bumi Kita” Seluruh Peserta TKSPMII
12.00-13.00 ISHOMA - -
13.00-16.00 Tindak Lanjut “Komunikasi Antar Komisariat “Pembentukan FORKORKOM (Forum Kordinasi Komisariat) Kordinator Acara dan Semua Ketua Komisariat
16.00-16.30 ISHO - -
16.30-18.00 Penutupan

RUTE PERJALANAN
1. Sahabat dari Temanggung da Wonosobo Naik Bis Jurusan Semarang Purwokerto kemudian Turun di Terminal Purwokerto kemudian Naik Angkot B2 Turun d STAIN Purwokerto
2. Berebes Naik Bis Jurusan Brebes Purwokerto Kemudian di Terminal naik Angkot B2 kemudian Turun di STAIN Pwt
3. Sahabat yang dari Tegal Naik Bis Jurusan Tegal Purwokerto Kemudian Naik Angkot B2 Turun di STAIN Pwt
4. Sahabat yang dari Cilacap naik bis Jurusan Purwokerto Cilacap kemudian naik Angkot B2 dan Turun Di STAIN pwt
5. Sahabat yang dari Kebumen Naik Bis Jurusan kebumen Purwokerto kemudian naik Angkot B2 jurusan STAIN pwt.

DENAH